ziddu.com

Selasa, Mei 05, 2009

pemuda

Pemuda selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia, semenjak jaman kolonial hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang amat panjang telah menempatkannya sebagai kelompok strategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila pemuda dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Membaca peran pemuda kontemporer, karenanya butuh diletakkan pada pembacaan historisitasnya. Hal ini bisa dilihat dari peran dan fungsi pemuda Indonesia yang begitu kompleks dalam kehidupan berbangsa, diantaranya mulai perlawanan atas imperialisme, hingga penggulingan rezim kekuasaan despotis, upaya dekonstruksi formasi sosial masyarakat, fungsi sebagai motor penggerak, pengorganisasian dan sekaligus sebagai kekuatan yang berfungsi melawan kekuatan jahat dari luar negara saat ini (neoliberalisme-neoimperialisme).

Mungkin sedikit berkilas balik dan bernostalgia tentang romantisme perjuangan pemuda Indonesia di masa yang lampau. Berakhirnya tanam paksa (cultuur stelsel) telah mengilhami lahirnya politik etis, yang niatan awalnya adalah sebagai bentuk balas jasa pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas berbagai macam kekayaan alam bumi Indonesia yang telah dikeruk Belanda. Kaum liberal Belanda yang diwakili oleh Van Deventer mengusulkan program praksis politik dari kebijakan politik etis, yakni trias politica Van Deventer, yang terdiri dari irigasi, emigrasi dan edukasi. Edukasi merupakan bagian politik etis yang mendorong lahirnya sekolah modern di Hindia Belanda, tahun 1902 berdiri Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA). Dari sinilah kemudian lahir lapisan sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Salah satu pelopor gerakan di masa itu adalah dr. Wahidin Sudhirohusodo, pemimpin majalah “Retnodumilah”. Wahidin berpendapat bahwa kemajuan akan tercapai dengan ilmu pengetahuan barat lewat pendidikan, dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Tahun 1907 di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulan pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Budi Utomo menjadi titik awal lahirnya gerakan kepemudaan yang sifatnya modern dan mengarah pada persatuan nasional, walaupun latar belakangnya masih Jawa sentris. BU menjadi generasi pendobrak bagi perjuangan pemuda Indonesia. Dengan lahirnya Budi Utomo kemudian muncul berbagai macam organisasi kepemudaan yang sifatnya modern, dan mempunyai tujuan politik secara tegas, yaitu melawan imperialisme kolonialisme.

Setelah berjalan dua puluh tahun, beraneka ragam organisasi kepemudaan yang ada di bumi Nusantara –Jong Java, Jong Sumatra, Jong Cilebes, Pemuda Sekar Rukun, Jong Ambon, Jong Borneo, dll- mulai terketuk pintu hatinya untuk mengikatkan diri pada cita-cita luhur, membangun persatuan nasional Indonesia. Sehingga terselenggaralah Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1927, dan kemudian dilanjutkan dengan Konges Pemuda Indonesia II pada 1928. Kongres Pemuda II menghasilkan Sumpah Pemuda Indonesia, yang didalamnya menyatakan bahwa Pemuda Indonesia adalah bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, INDONESIA. Sumpah Pemuda menegaskan cita-cita perjuangan pemuda Indonesia, menuju Indonesia merdeka.

Belajar dari ghirah Sumpah Pemuda, pada perjalanannya, pemuda Indonesia selalu berandil besar dalam setiap moment-moment besar perjuangan bangsa Indonesia. Setidaknya, peristiwa 1945, 1966, 1974 dan peristiwa 1998 adalah merupakan keberhasilan emas perjuangan pemuda Indoensia, sebagai warisan nilai-nilai perjuangan 1928. Kini, ketika arus pusaran kapitalisme mulai mengglobal, dengan semangat neoliberalismenya, yang berusaha untuk meruntuhkan tembok besar nasionalisme, pemuda Indonesia kembali ditantang untuk turun pada medan pertarungan. Virus globalisasi yang disemaikan oleh agen-agen neoliberal, bagaimanapun telah melahirkan gerakan emoh negara (I. Wibowo dan F. Wahono (ed), 2003). Parahnya, sasaran utama gerakan ini adalah mereka para pemuda, yang sebagain besar memandang bahwa global itu adalah lebih baik daripada berkutat dalam lokalitas. Akibatnya, jiwa nasionalisme pemuda Indonesia, yang secara susah payah dibangun oleh para founding fathers negeri ini, melalui semangat Sumpah Pemuda, mulai digerogoti dan terkikis sedikit demi sedikit oleh virus globalisasi, yang sifatnya lebih endemik daripada flu burung. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, bagaimana bangsa Indonesia bisa bangkit, dan menjadi bangsa yang besar? Ketika semangat nasionalisme pemuda sudah tak ada lagi, mereka lebih berpikir untuk kepentingan diri pribadi masing-masing, tidak lagi memiliki semangat kebersamaan untuk memikirkan dan merubah nasib massa rakyat banyak.

Oleh karenanya, sekarang adalah sudah saatnya, bagi kita pemuda Indonesia, untuk kembali berkaca dan mengambil serpihan-serpihan warisan 1928, yang telah terkoyak-koyak. Dahulu, ketika transportasi masih sulit, komunikasi belum secanggih sekarang, mereka pemuda Indonesia di masa itu, telah memiliki semangat kebersamaan yang luar biasa. Mereka bersatu padu membangun persatuan nasional, guna melawan imperialisme yang telah menindas seluruh elemen bangsa Indonesia. Saat ini, ketika tiap hari kita dimanja oleh kecanggihan teknologi, yang memungkinkan kita para pemuda Indonesia untuk berkomunikasi intens tiap hari, mengapa malah semangat kebersamaan itu menjadi semakin terpecah-pecah? Padahal, sekarang kita juga memiliki musuh bersama (common enemy), yang tidak bisa dihadapi sendiri-sendiri. Perlu kebersamaan untuk menangkal badai besar globalisasi dan neoliberalisme, sebagai wujud nyata dari neo-imperilisme. Neoliberlisme telah melumpuhkan sendi-sendi bangsa Indonesia sedikit demi sedikit, yang akibatnya lebih berbahaya dibandingkan dengan imperialisme di masa yang lalu.

Pemuda harus segera mengambil peran, tidak terus-menerus terhegemoni oleh kaum tua, yang semangatnya telah melemah. Warisan 1928 mengajarkan kepada kita semua, untuk menempatkan pemuda pada garda depan perjuangan bangsa. Pemuda harus menjadi pelopor bagi setiap proses transformasi bangsa Indonesia. Adalah salah ketika kita para pemuda senantiasa menunggu dawuh dari mereka kaum-kaum tua, karena Sumpah Pemuda juga tidak lahir dari pesanan kaum-kaum tua, melainkan lahir dari semangat kebersamaan pemuda Indonesia. Sekarang, ketika musuh bersama telah nyata di depan mata, maka sudah waktunya bagi seluruh pemuda Indonesia untuk membumikan kembali semangat bersamaan, yang telah lama terkoyak-koyak. Pemuda harus menjadi ujung tombak perubahan, bahu-membahu melawan neo-imperialisme, untuk merebut makna perjuangan 1928, guna menuju kebangkitan nasional yang sesungguhnya dan mencapai cita-cita luhur bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar