ziddu.com

Minggu, Februari 22, 2009

KITA HARUS TAHU…

KITA HARUS TAHU…

Jangan tanyakan kembali contoh kasus korupsi besar yang terjadi di bangsa kita tercinta ini, yang telah dan akan mencederai kehidupan anak cucu kita nantinya, diantaranya yaitu skandal BLBI, korupsi Soeharto beserta kroninya, skandal suap BI dan masih banyak lagi. Namun, yang patut kita garis bawahi adalah point no 3 dalam TUGU RAKYAT ( Tujuh Gugatan Rakyat – BEM SI mei 2008 ), yaitu kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroninya, yang sampai saat ini penindaklanjutannya berjalan, tetapi hanya secara evolusioner saja.
Dimulai dengan kasus BLBI yang bermula pada tahun 1997-1998. Skandal BLBI memang telah menyebabkan negara rugi dalam jumlah yang sangat besar, yaitu sekitar Rp 138,4 triliun (95,8%) dari penyimpanan BLBI sebesar Rp 144,5 triliun. Beban utang negara akibat kasus BLBI itu sangat luar biasa besar. Bayangkan saja, lebih dari Rp 1000 triliun (minimal pemerintah mengeluarkan dana sebesar itu, bahkan bisa mencapai Rp. 2000 triliun) harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap,dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40-50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2033. Sementara itu, sebagian dari pengemplang itu saat ini justru masuk daftar orang terkaya Indonesia.Dimana kekayaan 150 orang terkaya (Versi Globe Asia 2007) mencapai US$ 46,6 Miliar atau sekitar Rp 438 triliun. (Marwan Batu Bara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, hlm 262).
Mengapa bisa terjadi sedemikian rupa, sehingga bangsa kita menabung hutang untuk anak cucunya? Penyebabnya adalah kesalahan pemerintah sendiri, dan lagi – lagi adanya intervensi dari pihak asing, yaitu IMF. Dengan kewenangan yang dimiliki pasca ditandatanganinya LoI, IMF bebas melakukan intervensi, mencampuri, dan memaksakan kehendaknya pada hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah melalui LoI dan Memorandum on Economic and Financial Policies. Tercatat sekitar 1300 butir kesepakatan LoI yang harus diimplementasikan pemerintah. IMF telah memberikan rekomendasi ekonomi, bukan hanya salah tapi juga menjerumuskan, yang akibatnya justru memperparah krisis.
BLBI merupakan cerita suram diakhir ORBA dan pada masa Reformasi, untungnya pada saat ini kasus in mulai dikuliti oleh pemrintah walupun secara lambat. Beberapa waktu yang lalu, 8 obligor BLBI yang ditangani DepKeu sudah menyerahkan asset – asetnya kepada DepKeu sehingga bisa dijual tahun ini. Mereka juga sepakat menutup kekurangan jika hasil penjualan itu masih kurang, sehingga penjualan asset kedelapan obligor itu bisa dimasukkan kedalam APBN 2009. Namun, apakah dengan mengembalikan uang / asset – asset mereka, mereka akan terlepas begitu saja dari jerat hukuman pidana, karena mereka sudah memegang SKL dan ditambah lagi dengan Inpres No 8/2002 yang ditandatangani oleh Megawati? Ini merupakan PR besar kita, agar menuntut agar mereka juga terkena jerat pidana.
Selain itu, pemerintah juga telah mendapatkan aset yang diambil alih dan dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Seluruh pendapatan BPPN, entah dari penjualan, restrukturisasi kredit, atau menjual saham, uangnya kembali ke negara untuk mengurangi beban dari program rekapitalisasi dan BLBI.

Kemudian beralih ke kasus berikutnya, yaitu korupsi soeharto beserta kroni – kroninya yang sampai saat in tidak adanya kepastian hukum bagi mereka. Setelah mantan Presiden Soeharto meninggal dunia, kasus hukum yang membelitnya tetap saja menarik perhatian masyarakat. Hal itu terjadi karena Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), tapi nyatanya sampai sekarang kejahatan pada masa Orba masih saja didiamkan.
Memang secara hukum, seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan meninggal dunia, maka proses hukum secara pidana terhadapnya gugur dengan sendirinya. Yang didesak sebagian masyarakat terhadap pemerintah, terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto adalah menuntut Soeharto melalui ahli warisnya (anak-anaknya) secara perdata. Sedangkan kasus korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto tetap dilakukan secara pidana dan perdata, bukannya mengadili soeharto yang sudah meninggal, biarkanlah Allah yang mengadili.
Tuntutan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto, anak-anak dan kroni-kroninya merupakan amanat reformasi 1998, sebagaimana tertuang dalam Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Pasal 4 Tap MPR XI/1998 berbunyi, "Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta / konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM".

Dugaan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi sehingga sampai dirumuskan dalam Tap MPR seperti tersebut di atas, rupanya tidaklah berlebihan. Karena pada 20 September 2007, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank Group (WBG), menyatakan, bahwasannya mantan Presiden Soeharto menduduki peringkat pertama sebagai pencuri aset negara, yaitu sebesar US$ 15 miliar - US$ 35 miliar dari kurun waktu 1967 – 1998. ( sungguh angka yang fantastis bagi rakyat biasa seperti kita ).
Permasalahan tadi merupakan segelintir dari banyaknya permasalahan korupsi yang ada di Indonesia. Untuk itu, kita selaku mahasiswa jangan hanya diam melihat keadaan bangsa yang seperti saat ini, kita harus peduli, kita harus bangkit dari segala macam keterpurukan yang telah dititipkan oleh penguasa yang lalu, kita selesaikan, kita tuntaskan permasalahn ini, karena yang akan membawa arah bangsa ini, yang menentukan bangsa ini, yang menjalankan bangsa ini nantinya adalah KITA…!
Hidup Mahasiswa…
Hidup Rakyat Indonesia…

Oleh : Invest Red Soldiers BEM FIS

No. Waktu Keterangan
1. Juli 1997 § Krisis Moneter, kepercayaan terhadap Rupiah merosot tajam
§ BI memperluas rentang intervenís Kurs dari Rp. 192 (8%) menjadi Rp.304 (12%).
§ BI melakukan pengetatan likuiditas dan menaikan suku bunga SBI dari 6% menjadi 14%.
§ Pemerintah menghentikan pembelian SPBU dari bank-bank.
2. Agustus 1997 § Pemerintah menerapkan sistem mengambang (manage floating), sehingga nilai rupiah mengambang bebas (free floating)
§ Dana yayasan milik pemerintah dan BUMN dialihkan ke SBI
§ BI menaikan suku bunga 30% (jangka waktu 1 bulan) dan 28% (janga waktu 3 bulan).
§ SBI Repo, fasdis, KLBI, dan fasilitas BI lainnya dihentikan sementara.
§ Tingkat bunga di pasar uang melonjak drastis.
§ Investor luar negeri melakukan aksi jual saham yang mengakibatkan IHSG anjlok. Para fund manager menarik uang mereka.
3. September 1997 § Tgl 3 September, Soeharto memimpin rapat kabinet yang menyetujui pengucuran dana BLBI untuk menolong pemodalan bank-bank yang sedang kritis.
§ SBI diturunkan sebanyak 3 kali
§ Terjadi rush besar-besaran
4. Oktober 1997 § Pemerintah meminta bantuan IMF.
§ Tgl 30 Oktober 1997, LoI Pemerintah Rid an IMF ditandatangani. Inti kesepakatan dengan IMF: Restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetahuan likuiditas, serta menaikan suku bunga, dan rencana penutupan 16 bank nasional.
5. November 1997 § Tgl 1 November 1997, berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 86/1997, 16 bank dilikuidasi.
§ Kembali terjadi rush besar-besaran, bank meminta fasilitas BI sebagai the lender of the last resort.
§ Terjadi Capital Flight, BLBI terus meningkat karena rush terus terjadi. Akibatnya jumlah bank yang bersaldo negatif meningkat tajam.
6. Desember 1997 § Perombakan Direksi BI (4 orang diberhentikan), diangkat direktur baru: Miranda Gultom dan Aulia Pohan.
§ Rush dan Capital Flight terus meningkat.
§ 27 Desember 1997, Presiden menyetujui kebijakan pemberian SBPUK.
§ Terjadi lonjakan penyaluran BLBI dalam jumlah yang signifikan, hingga mencapai 66 triliun.
§ Harga dolar pertamakali menembus Rp.5.000,-/ 1US$, hingga di awal Januari 1998 mencapai Rp.15.000,-/ 1US$
7. Januari 1998 § Pemerintah mengumumkan RAPBN 1998 yang mengasumsikan kurs Rupiah Rp.4.000,- / 1 US$, inflasi 9%, dan pertumbuhan ekonomi 4%. Namur, RAPBN ini tidak dipercayai pasar.
§ Tgl 15 Januari 1998, LoI Pemerintah RI dan IMF ditandatangani.
§ Tgl. 22 Januari 1998, nilai dollar mencapai Rp.17.000,-/ 1 US$.
§ L/C perbankan nasional ditolak diluar negeri, sehingga sektor riil (komiditi ekspor) macet dan kondisi perbankan nasional memburuk.
§ Tgl. 26 Januari 1998, pemerintah menerbitkan Keppres 26/1998 tentang Program Penjaminan Pemerintah untuk mengatasi kepercayaan terhadap perbankan.
§ Melalui Keppres 27/1998 BPPN dibentuk untuk melakukan penagihan utang kepada obligator. (Penyelesaian kewajiban BLBI dialihkan dari BI ke BPPN).
§ Pemerintah membentuk Tim Penanggulangan Masalah Utang Swasta (TPMSUI) yang diketuai Radius Prawiro.
§ Tgl. 15 Januari 1998, Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita memerintahkan BI membayar L/C bank swasta senilai US$ 900 juta berdasarkan Frankfurt Agreement.
8. Februari 1998 § Menteri Keuangan, Mar’ie mamad memberikan persetujuan atas pembayaran penuh simpadnaa dana pihak ketiga yang ada di 16 bank yang dilikuidasi.
9. Maret 1998 § BI menaikan suku bunga SBI dan denda Giro Wajib Minimum 150%, 200%, dan 400% dari suku bunga JIBOR (Jakarta Inter Bank Offer Rate) Overnight.
§ BI juga menaikan bunga saldo debet sebesar Rp. 500% dari suku bunga JIBOR Overnight.
§ Pemerintah menerbitkan PP NO. 38 Tahun 1998 yang menetapkan ketentuan permodalanbagi bank umum.
10. April 1998 § Pemerintah membekukan 7 bank, mengambil alih 7 bank lainnya, dan menyatakan 40 bank dalam status penyehatan. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah dana BLBI.
§ Pemerintah memperketat liquiditas, menaikan suku bunga SBI menjadi 9,25%-16,6%. Hasilnya, meskipun inflasi tetap meningkat, rupiah menguat Rp.7.800,-/ 1US$.
§ Penggantian Direksi BI menjadi: Syahril Sabirin (Gubernur BI), Aulia Pohan, Miranda Gultom, Iwan Prawinara, Soebarjo Djojosumarto, Achwan, Achjar Ilyas, dan Dono Iskandar.
11. Mei 1998 § Kerusuhan terjadi di kota-kota besar Indonesia, terjadi penembakan yang menewaskan mahasiswa Trisakti pada demonstrasi 13-15 Mei 1998.
§ Ketidakpastian politik menyebabkan terjadinya aksi Capital Flight, rupiah tertekan Rp.12.600,-/ 1US$.
§ Soeharto jatuh pada tgl 20 Meil 1998.
12. Agustus 1998 § Pemerintah menandatangani skema PKPS 9Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalam bentuk MSAA dan MRA dengan Anthony salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Sudwikatmoko 9Surya-Subentra), dan Usman Admadjaja (Danamon)
13. Oktober 1998 § Menteri Keuangan menerbitkan Surat Utang pemerintah sebesar Rp. 20 triliun untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara pemerintah pada Bank Exim.
14. September 1998 § Tgl. 21 September 1998, diterbitkan klausul Release and Discharge (R & D) yang membebaskan obligator dari tuntutan hukum jika telah membayar utang melalui penyerahan asset.
15. November 1998 § Tgl. 10 November 1998, pemerintah menerapkan pola PKPS dengan penjadwalan pengembaliak BLBI selama 4 tahun.
16. Januari 1999 § Tgl. 29 Januari 1999, Hak tagih BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun dialihkan dari BI ke BPPN, keputusan pengalihan hak tagih sesuai dengan Surat Menko Ekuin No. 1799/MK/4/1998.
17. Februari 1999 § Tgl. 6 Februari 1999, pengalihan hak tagih BLBI dari BI lepada pemerintah seara resmi ditandatangani oleh Syahril Sabirin (Gub. BI) dan Bambang Subianto (MenKeu).
§ Tgl. 8 Februari 1999, pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp. 64,5 triliun untuk membayar tambahan dana BLBI lepada BI.
§ Tgl. 29 Februari 1999, dilaporkan BI kembali mengucurkan dana BLBI pada sejumlah perbankan diluir BLBI senilai Rp. 144,5 triliun.
18. Maret 1999 § Tgl. 13 Maret 1999, pemerintah membekukan 38 bank, mengambil alih 29 bank, dan merekapitulasi 7 bank.
19. Januari 2000 § Tgl. 5 Januari 2000, pemerintah berbeda pendapat dengan BI soal jumlah BLBI. Menurut pemerintah, BLBI sejumlah Rp. 1645 triliun. Namun BI mengklaim Rp. 51 triliun lagi juga harus dibayar pemerintah, yang dikucurkan BI kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama periode November 1997-Januari 1998.
§ Tgl. 29 Januari 2000, BPK menyatakan 95,78% dari total BLBI (Rp.144,5 triliun) tidak bisa dipertanggunjawabkan.
20. Juli 2000 § Tgl. 22 Juli 2000, audit BPKP juga menunjukan terjadinya penyelewengan sebesar Rp. 54,5 triliun dari Rp. 106 triliun BLBI yang diberikan lepada 10 bank beku operasi dan 32 bank beku kegiatan usa (posisi audit. Per 31 Januari 2000)
21. Agustus 2000 § Tgl. 5 Agustus, Audi Final BPK menyatakan terdapat potensi kerugian negara Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan.
§ BPK juga menyatakan terjadi penyelewengan penggunaan BLBI sebesar Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima.
§ Rp. 34,7 triliun (25%) dana BLBI telah dipertanggungjawabkan.
Sumber: Marwan batubara Et. All, Skandal BLBI, 2008